Beranda | Artikel
Asas Dakwah dan Menghadapi Perselisihan (Bag. 10): Menyebutkan Keutamaan Diri Bukan Dalam Rangka Sombong
8 jam lalu

Pada bagian sebelumnya, telah dibahas sebuah asas yang menjadi penyeimbang dari implementasi asas lainnya: menyebutkan keutamaan diri. Sangat penting bagi penulis untuk memberikan penjelasan berkaitan dengan tujuan dan batasan dari pengaplikasian asas ini. Tujuan utama dari asas ini tidak dimaksudkan untuk meninggikan diri dan menyucikan diri. Namun, tujuan utamanya adalah meraih maslahat dan mencegah mafsadat dalam berdakwah dan menghadapi perselisihan.

Tiga tinjauan dan batasan dalam menyebutkan keutamaan diri

Menyebutkan keutamaan diri yang bermaksud sombong dengan yang bertujuan benar dapat dibedakan dari beberapa aspek. Setidaknya ada tiga hal yang dapat menjadi tinjauan dan juga batasan dalam praktiknya.

Yang disebutkan hanya yang zahir dan sesuai dengan kebenaran

Dalam dalil Al-Qur’an, hadis, dan atsar para sahabat, dapat kita lihat bahwasanya pernyataan menyebutkan keutamaan diri pribadi dilakukan berdasarkan realita yang ada. Semuanya tidak mengajarkan kepada kebohongan. Semisal Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memanglah seorang ahli Al-Qur’an yang diakui Nabi ﷺ. Atau semisal Nabi Yusuf ‘alaihissalam yang memang diakui sifat amanah serta keilmuannya.

Juga sebagaimana yang kita dapatkan dari Sahl bin Sa’ad, beliau memanglah sosok yang paling mengetahui beberapa perkara kenabian. Dalam konteks ini, karena Sahl termasuk sahabat yang paling terakhir wafatnya. Sehingga Sahl menjadi sahabat senior di kalangan tabi’in awal ataupun sahabat yang cenderung lebih muda. (Adab Al-Ikhtilaf, hal. 270)

Tidak merekomendasikan atau mentazkiyah hati, batin, ataupun amal gaib

Pernyataan tentang keutamaan diri ini hanya sebatas pada yang zahir saja atau yang memiliki takaran. Adapun perkara yang tidak terukur, perkara gaib, amalan hati, atau keimanan yang tidak memiliki testimoni, maka hal ini tidak bisa disebutkan dalam menyebutkan keutamaan diri sendiri yang disyariatkan.

Allah ﷻ berfirman,

هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَإِذْ أَنْتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

“Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat tersebut dengan maksud melarang, “Yakni memuji diri sendiri dan merasa besar diri serta membanggakan amal sendiri.”

Ayat ini senada dengan ayat lainnya,

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَلا يُظْلَمُونَ فَتِيلا

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa saja yang di­kehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikit pun.” (QS. An-Nisa: 49)

Dan memang realitanya, pengakuan berkaitan keadaan batin itu tiada berguna jika ditinjau dengan beberapa aspek:

1) Tidak ada yang bisa menjadi saksi urusan hati kecuali Allah ﷻ.

2) Hati pun mudah sekali terbolak-balik, sehingga ia tidak akan tetap dalam waktu lama.

3) Perkara hati tidak bisa dikontrol, ia mutlak kuasa Allah ﷻ.

4) Orang munafik pun mengaku beriman dan mengucapkan syahadat, tetapi tetap berada di kerak neraka karena hakikat batinnya tidaklah demikian.

Atas dasar itulah, pembelaan diri dan menyebutkan keutamaan pribadi hanya berkaitan pada sesuatu yang dapat disaksikan oleh banyak orang.

Tidak berlebihan sesuai kadarnya

Ketika sekelompok Arab Badui mengklaim bahwa diri mereka telah beriman, maka Allah ﷻ menjawabnya,

قَالَتِ ٱلْأَعْرَابُ ءَامَنَّا ۖ قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا۟ وَلَٰكِن قُولُوٓا۟ أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ ٱلْإِيمَٰنُ فِى قُلُوبِكُمْ ۖ وَإِن تُطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ لَا يَلِتْكُم مِّنْ أَعْمَٰلِكُمْ شَيْـًٔا ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Orang-orang Arab Badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah, “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘Kami telah berislam’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu. Jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 14)

Orang Badui ini sudah mengatakan bahwa diri mereka beriman, padahal level mereka masih muslim saja. Artinya, iman itu belum meresap di hatinya, atau imannya belum di level sempurna. Oleh karena itu, Allah ﷻ ingatkan melalui lisan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam agar tidak mengatakan demikian.

Maka, janganlah kita gunakan dua pakaian kebohongan, yakni mengesankan pada diri memiliki suatu keutamaan, padahal tidak ada. Cukuplah dalam menyatakan keutamaan diri dalam batas yang benar atau fakta saja. Janganlah melebihkan diri sendiri karena ini termasuk kebohongan yang rendahan sekali yang dapat menjadi golongan al-mutasyabbi’.

Tujuan yang sah dalam menyebutkan keutamaan diri

Asas ini dibutuhkan dalam menyeimbangkan, tetapi tidak selalu menjadi pilihan utama. Artinya, ada level atau gradasi dalam mempraktikkannya. Dasarnya adalah yang penting tercapai maslahat. Maslahat yang menjadi tujuan dalam praktik tersebut adalah:

Agar diterima dakwahnya

Terkadang dalam berdakwah, kita akan menghadapi suatu komunitas yang memiliki resistensi terhadap kelompok tertentu. Atau komunitas tersebut memandang rendah kelompok yang tidak memiliki prasyarat tertentu. Di momen ini, kita perlu untuk menyebutkan keutamaan diri yang relevan. Contohnya adalah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu saat menghadapi Khawarij, dalam kisah yang terkenal itu terdapat sebuah cuplikan,

قَالُوا: فَمَا جَاءَ بِكَ؟ قُلْتُ: أَتَيْتُكُمْ مِنْ عِنْدِ صَحَابَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ، لِأُبَلِّغُكُمْ مَا يَقُولُونَ الْمُخْبَرُونَ بِمَا يَقُولُونَ فَعَلَيْهِمْ نَزَلَ الْقُرْآنُ، وَهُمْ أَعْلَمُ بِالْوَحْيِ مِنْكُمْ، وَفِيهِمْ أُنْزِلَ: وَلَيْسَ فِيكُمْ مِنْهُمْ أَحَدٌ. فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَا تُخَاصِمُوا قُرَيْشًا، فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ: {بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ}

Mereka berkata, “Apa yang membuatmu datang ke sini?” Aku berkata, “Aku datang kepada kamu dari sisi para sahabat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, yaitu Muhajirin dan Anshar, untuk menyampaikan perkataan mereka, mereka adalah orang-orang yang telah diberi tahu dengan apa yang mereka katakan. Al-Qur’an turun kepada mereka, dan mereka lebih mengetahui wahyu daripada kamu. Dan Al-Qur’an diturunkan tentang mereka. Dan tidak ada salah seorang pun dari kalian yang termasuk sahabat Nabi. (HR. Hakim no. 2656)

Dalam potongan kisah tersebut, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menyebutkan posisi dirinya di hadapan Khawarij, di antaranya:

1) Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu adalah bagian dari sahabat Nabi ﷺ.

2) Ucapan dari kalangan para sahabat itu didasari ilmu.

3) Ilmu yang menjadi pondasi para sahabat adalah Al-Qur’an yang langsung turun kepada mereka.

4) Para sahabat jelas lebih berilmu tentang wahyu Al-Qur’an dibandingkan Khawarij.

5) Pembahasan Al-Qur’an adalah benar-benar berkaitan keseharian para sahabat.

Sangat terang dari satu hadis ini bagaimana Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menyebutkan keutamaan dirinya di hadapan mad’unya dalam rangka melunakkan hati mereka, mengentaskan syubhat mereka, dan mengokohkan posisinya. Hal ini menjadi landasan yang sangat kuat pula bahwasanya bolehnya perbuatan ini dilakukan dan bahkan termasuk strategi dakwah.

Agar diterima nasihatnya

Nasihat yang dimaksudkan dalam hal ini adalah seruan kebaikan dalam ruang lingkup yang lebih terbatas atau personal. Menyebutkan keutamaan diri diperlukan agar orang yang ditargetkan menerima nasihat dapat lega menerimanya. Karena nasihat itu seringkali bersifat dari atas ke bawah. Sehingga menunjukkan posisi diri akan membuat aliran nasihat itu menjadi normal dan lebih meringankan untuk diterima.

Ingatlah bahwa perkara saling menasihati ini tidak hanya sekadar perkara perintah. Namun, ia melibatkan perasaan orang bahkan ego pihak lain. Syekh Al-Albani rahimahullah pernah mengatakan,

الحق ثقيل.. فلا تثقلوه أكثر بسوء أخلاقكم

“Kebenaran itu berat, maka jangan diperberat dengan buruknya akhlak kalian.” (Silsilah Huda wan Nur no. 900)

Termasuk yang memberatkan adalah menerima nasihat dari orang yang tidak kita ketahui keutamaannya. Bayangkan kalau Anda dinasihati seorang anak TK berkaitan adab makan dan minum, misalnya. Rasanya malu sekali. Namun, jika itu disampaikan oleh seorang ahli ilmu yang kita hormati, tentu lebih mudah kita menerimanya.

Bukan untuk meninggikan di atas level

Sebagaimana telah disebutkan dalam QS. Al-Hujurat: 14, menyebutkan keutamaan diri itu bukan dalam rangka untuk meninggikan diri. Apalagi meninggikan sampai di atas level sebenarnya. Terlebih lagi mengesankan diri sebagai orang yang memiliki keutamaan A, B, C, dan D, padahal realitanya tidak demikian.

Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan,

أنَّ امْرَأَةً قالَتْ: يا رَسولَ اللهِ، أَقُولُ إنَّ زَوْجِي أَعْطَانِي ما لَمْ يُعْطِنِي فَقالَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ: المُتَشَبِّعُ بما لَمْ يُعْطَ، كَلَابِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ

“Ada seorang wanita, ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya pernah mengatakan kepada orang lain bahwa suami saya memberikan sesuatu kepada saya, padahal itu tidak pernah diberikan.’ Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam pun bersabda, ‘Orang yang berbangga dengan sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan, bagaikan menggunakan dua pakaian kedustaan.’” (HR. Muslim no. 2129)

Sebagian ulama mengatakan, maksud dari “dua pakaian kedustaan” adalah untuk menekankan bahwa dosa dusta dengan model di atas, lebih besar dosanya dari dosa biasa. Syekh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah juga menjelaskan,

قال: [(المتشبع بما لم يعط كلابس ثوبي زور)] يعني: أن كلامه وفعله زور، فهو كالمتصف بوصفين ذميمين، وهو أنه لابس ثوبي زور وليس ثوباً واحداً، وهذه زيادة في الإثم، وزيادة في الضرر

“Sabda Nabi [memakai dua baju kedustaan], maksudnya perkataan dan perbuatannya dusta. Ia seolah-olah disifati dengan dua sifat yang tercela. Dan seolah-olah ia memakai dua baju kedustaan, tidak hanya satu baju. Ini menunjukkan adanya tambahan dosa dan tambahan bahaya.” (Syarah Sunan Abi Daud, 13: 255)

Keterangan lebih lanjut dapat dibaca di artikel berikut: Bangga Dengan Suatu Yang Tak Dimiliki, Bagai Memakai Dua Baju Kedustaan

Jika maslahat tercapai, maka praktiknya tidak diperlukan melebihi dari itu. Maka, tuntaslah bahwa asas ini tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menyombongkan diri, angkuh, juga berbuat pongah di hadapan kaum muslimin.

Adapun realitanya telah kita sebutkan pada bagian sebelumnya, bahwa para salaf dari kalangan Nabi hingga para sahabat dan ulama setelahnya pun melakukannya. Sangat banyak atsar yang dapat kita nukilkan untuk menunjukkan bahwasanya hal ini adalah bagian dari strategi dakwah dan juga meredakan perselisihan. Telah kita sebutkan pula praktiknya dalam berbagai kondisi dan analisis sederhana sehingga dapat diambil hikmah darinya dengan lebih mudah.

Ketahuilah para pembaca! Bahwa sesuatu yang dari hati akan sampai ke hati. Sesuatu yang dilakukan dalam rangka mengharapkan kebaikan akan terasa bagi hati yang bersih. Maka, kita tidak perlu berdalam-dalam mendiskusikan teknik menilai atau alamat dari ketulusan hati ketika menyampaikan keutamaan diri. Tidak perlu kita sibuk menerka keadaan hati seorang manusia ketika mengucapkannya. Cukuplah kita mengetahui bahwa ini adalah bagian dari asas dakwah dan menghadapi perselisihan. Adapun yang perlu kita awasi dengan sangat rinci adalah keadaan hati kita saat mempraktikkan asas dakwah ini.

[Bersambung]

Kembali ke bagian 9

***

Penulis: Glenshah Fauzi

Artikel Muslim.or.id


Artikel asli: https://muslim.or.id/110264-asas-dakwah-dan-menghadapi-perselisihan-bag-10.html